Shop for Cheapo

Eco-Friendly & Affordable Tips to Maximize Our Life

Pages

  • Beauty
  • Fashion
  • Sustainable Living
  • Book of The Month
  • Vegetarian Journey
Do not copy without permission. Copyright to Diah Fara Dilla. Diberdayakan oleh Blogger.

Ada yang suka baca buku tipe memoir juga nggak di sini? Setelah pertama baca Eat Pray Love, lalu diteruskan dengan When Breath Becomes Air, Crying in H Mart, Born a Crime, dan Educated, aku baru sadar ternyata aku cukup klik dengan buku-buku bertema memoir. Akhirnya aku putuskan untuk coba baca memoir yang satu ini.
 
𝐖𝐡𝐚𝐭 𝐈 𝐓𝐚𝐥𝐤 𝐀𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐖𝐡𝐞𝐧 𝐈 𝐓𝐚𝐥𝐤 𝐀𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐑𝐮𝐧𝐧𝐢𝐧𝐠 - 𝐇𝐚𝐫𝐮𝐤𝐢 𝐌𝐮𝐫𝐚𝐤𝐚𝐦𝐢

Sebetulnya aku pernah baca bukunya Haruki Murakami yang Norwegian Wood dan kurang cocok sama bukunya, hahaha. Mau baca bukunya yang lain jadi takut nggak suka juga karena temanya fantasi. Namun, entah kenapa aku nggak pakai pikir dua kali pas mau baca memoir-nya Haruki Murakami.
 
Jadi buku ini seperti judulnya, menceritakan pengalaman Haruki Murakami yang punya hobi lari, ikut beberapa pertandingan lari maraton. Selama ikut pertandingan itu banyak sekali insight-insight yang muncul. Lalu Murakami juga cerita sedikit tentang pekerjaannya sebelum menjadi penulis dan kebiasaan-kebiasaan yang dia lakukan saat menulis. Seru sekali rasanya tau proses di balik karya-karya seorang Haruki Murakami. Sebagai seseorang yang cukup interest dengan budaya Jepang dan juga bekerja di bidang konten dan kreatif, aku merasa cukup "terkoneksi" dengan apa yang dibahas Murakami.

Kalau aku baca bukunya, kelihatan sekali kalau Murakami tipe yang introvert, chill, dan wise. Walaupun tetap ada sisi ambisiusnya dan punya komitmen yang tinggi dengan yang ingin dicapai. Very inspiring!
 
Beberapa kutipan yang aku suka:
 
- Next most important thing for a novelist is, hands down, endurance. If you can concentrate on writing three or four hours a day, and feel tired after week of this, you're not going to be able to write a long work.
 
- As you age you learn even to be happy with what you have. That's one of the few good points of growing older.
 
- The end of the race is just a temporary marker without much significance. It's the same with our lives. Just because there's an end doesn't mean existence has meaning. An end point is simply set up as a temporary marker, or perhaps as an indirect metaphor for the fleeting nature or existence.
 
- One generation takes over from the next. This is how things are handed over in this world, so I don't feel bad if they pass me. These girls have their own pace, their own sense of time. And I have my own pace, my own sense of time. The two are completely different, but that's the way it should be.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Salah satu cobaan terbesar buat aku sebagai vegetarian adalah kopi susu! Karena jujur aja waktu awal-awal jadi vegetarian, minuman oat lokal merek Oatside belum dirilis. Jadi saat mau minum kopi susu enak, harus pilih antara:

1. Harganya mahal sekali karena susunya diganti pakai minuman oat
2. Rasanya nggak enak karena pakai minuman kedelai
3. Yasudah pasrah pakai susu sapi kayak biasa

Biasanya sih ujung-ujungnya aku lebih pilih opsi nomor 3 karena kan aku masih vegetarian jadi boleh minum susu (wkwk alasan padahal biar murah). Tetapi kadang aku pilih opsi nomor 2 kalau pesan kopi susunya di coffee shop tertentu seperti Kopi Soe. Karena dari pengalamanku, kopi soya itu rasanya nggak selalu enak dan sejauh ini yang menurutku paling rasanya paling oke cuma Kopi Soe Soya.

Nah, sayangnya sekarang aku mulai sensitif nih terhadap susu sapi soalnya kalau rutin minum susu sapi setiap hari, biasanya langsung muncul jerawat kecil seperti brutusan di kulit, hiks. Namun, untungnya ada produk lokal baru bernama Oatside!

Oke, yang belum kenalan sama Oatside, mungkin kalau lihat kemasan dan brandingnya sekilah mengira ini produk Jepang, tetapi ternyata produk ini asli Indonesia, lo. Produk ini memang selain mengincar pasar lokal, juga sudah merambah ke pasar internasional Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan lainnya.

Namun, di postingan kali ini aku bukan bermaksud promosi minuman merek Oatside, hehe. Melainkan ingin memberikan perbandingan minuman Oatside dan Oatly, karena menurutku keduanya punya karakteristik yang sama. Setau aku juga banyak coffee shop yang awalnya menggunakan Oatly sekarang beralih menggunakan Oatside. Mungkin karena faktor harga juga, ya? Tapi apakah rasanya ikut dikorbankan? Yuk cek review-nya.
 



 
Oatly Barista Edition: Rp101.000 di Farmers Market Senayan City
Oatly Instagram
 
Oatside Barista Blend: Rp50.000 di Tokopedia Sukanda Djaya Home
Oatside Instagram

- Oatly harganya lebih mahal dibanding Oatside (bahkan kadang bisa 2x lipat)
- Oatside lebih gampang dibeli di supermarket lokal seperti Superindo, sedangkan Oatly aku baru lihat di supermarket impor seperti Farmers Market
- Dari komposisi mirip, tetapi Oatside menggunakan canola oil sedangkan Oatly menggunakan rapeseed oil dan ada tambahan vitamin B2, D2, & B12
- Keduanya mengandung gula.. hmm aku kurang ahli (please refer more from the picture below)
 
 
 
- Dari rasa, Oatside lebih creamy dibanding Oatly- Aroma Oatly sedikit lebih strong dibanding Oatside, tetapi keduanya nggak bau aneh-aneh seperti soy/almond
- Both of them are very great for coffee and milk tea, so tasty!
- Menurutku keduanya oke sekali dipakai sebagai alternatif susu sapi
- Saat diminum langsung (tanpa dicampur kopi atau teh), rasanya juga masih enak, cuma agak sedikit terasa "greasy"
- Oatside sudah mengantongi sertifikat halal MUI

Final choice, apabila dari rasa, aku lebih pilih Oatside. Menurutku pribadi, Oatly terlalu kemahalan padahal rasanya mirip-mirip.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku benar-benar bangga dengan produk lokal yang sekarang udah bukan cuma mementingkan kualitas, tetapi dari segi branding juga menurutku bagus banget dan enggak kalah dengan produk luar.
 
Jujur saja aku karena anaknya enggak pintar mix 'n match fashion items, jadi pernah suatu saat akhirnya memutuskan untuk pakai baju dari satu brand saja supaya style-nya enggak "blentang blentong". Karena suatu brand pasti punya style yang jadi ciri khas mereka, kan? Nah, aku udah ingin ikutin itu saja biar enggak pelu lagi mikir soal padu padan. Waktu itu aku memutuskan untuk pakai produk asal Jepang, Uniqlo karena aku suka dengan style-nya yang sederhana dan kualitasnya juga bagus. Kalau kamu pernah baca artikel aku beli baju preloved di Tinkerlust pun aku prefer baju dari Uniqlo karena aku sudah tau kualitasnya. Namun, sejak pandemi dan enggak bisa hunting ke offline store-nya, aku jadi kesulitan untuk beli baju. Hehehe. Waktu itu kebetulan Uniqlo belum buka online store mereka seperti sekarang.

Jadi, akhirnya, aku pindah haluan ke brand lokal yang based-nya sudah bisa diakses secara online. Setelah itu, aku sudah enggak lagi ingin pindah ke brand lain, dan sudah bye bye ke Uniqlo! Hahaha.. Karena setelah coba brand lokal ini kualitasnya bagus, harganya juga masih masuk di budget (pastinya lebih murah dari Uniqlo, apalagi saat sale dan selalu free ongkir), tema brand-nya pun oke sekali.

Sekarang aku semakin-makin cinta dengan produk-produk lokal dan setelah itu malah semakin banyak lagi menemukan brand lokal yang bagus-bagus. Jadi, sesuai judulnya, di artikel ini aku ingin merangkum beberapa brand lokal yang menurutku estetik dan segi kualitas juga oke sekali. Brand-brand ini baru sebagian kecil dari yang aku temukan, dan aku pilih yang memang sudah pernah aku pakai produknya.


1. Shop At Velvet
Instagram: @shopatvelvet
 
Aku tau brand yang satu ini sudah lama sekali sejak tahun 2010 kalau enggak salah, tetapi baru mulai coba-coba beli di awal tahun 2021. Yes, ini brand fashion yang aku sebut di pembukaan artikel ini. Aku baru tahu ternyata Shop At Velvet sering sekali mengadakan sale dan harganya menurutku jadi semakin ramah di kantong! Apalagi brand ini juga selalu memberikan gratis ongkos kirim tanpa minimum pembelian, jadi semakin enggak ada rasa bersalah walaupun cuma beli satu baju dengan harga diskon, wkwkwk (anaknya suka merasa bersalah kalau belanja banyak barang dalam satu kali check out). Teman-teman kantor aku juga rata-rata suka dengan brand yang satu ini karena memang kita bisa dapat kualitas oke dengan harga yang enggak mencekik.
 
Shop At Velvet juga punya koleksi untuk cowok dan sub brand Studio Now yang menyediakan lounge wear. Brand ini juga sudah melayani pemesanan ke Singapura, lho. Keren, ya.

Konsep brand-nya menurutku masuk ke minimalis kontemporer. Mungkin banyak juga brand fashion lain yang sama-sama estetik, tetapi menurutku Shop At Velvet punya ciri khas tersendiri. My favorite part, di Instagram, mereka sesekali sharing quotes dan entah kenapa quotes yang mereka sharing sangat terasa adem dan relatable. Definitely follow-able!


2. Chauan Tea
Instagram: @chauan.tea
 
Dalam ranah teh, walaupun bukan pakarnya, tetapi aku suka sekali dengan teh dari merek lokal yang satu ini. Saat pertama kali discovered brand mereka di Tokopedia, aku langsung kepo dengan Instagram-nya dan ternyata konsepnya juga super estetik dan memberikan kesan teduh dengan tone hangat yang senada. Harga teh-nya juga enggak terlalu mahal dan bisa dibeli dalam ukuran kecil untuk coba-coba. Dari brand ini juga aku kenal dengan butterfly pea tea, hehe. Aku sebetulnya juga sudah pernah tulis review beberapa varian teh mereka di artikel ini.
 
 
3.  Sand and Paper
Instagram: @sandandpaper_
 
Best discovery on 2021 karena jujur aku masih jarang menemukan brand lokal dengan desain yang simpel, minimalis, dan fokus di stationery. Aku sudah bahas lengkap kenapa aku suka sekali dengan produk dari Sand and Paper di artikel ini. Namun, bukan cuma produknya saja yang worth it untuk dibeli, tetapi akun Instagram mereka juga worth-to-follow.

 
4. Bymne
Instagram: @_bymne
 
If you need some zen moment, Bymne products will be great companion. Brand asal Bali ini terlihat sekali sangat concern dengan welness, jadi bukan cuma "branding" dan suka memberikan konten tentang balance life, cleansing, gratitude, affirmation, dan lainnya yang juga dikaitkan dengan ritual khas di Bali.

 Untuk kado, produk-produk Bymne sangat cocok sekali, terlebih mereka menyediakan kartu ucapan dengan tulisan tangan. Kemasannya juga sangat cantik dan minim plastik! Aku jadi ingat sudah lama sekali ingin coba koleksi dupa mereka. Beberapa ulasan lilin Bymne juga sudah pernah aku tulis di artikel berikut.


5. One
Instagram: @_______________one
 
One adalah salah satu brand yang membuatku mind blowing saat menerima produknya karena dikemas dengan sangat cantik dan sesuai namanya, One (of a kind). Sayang aku enggak punya foto yang proper, tetapi sampai sekarang card dari brand ini masih aku tempel di depan meja kerja sebagai dekorasi dan pouch-nya juga masih aku gunakan untuk menyimpan beberapa cincin. Semoga itu menjadi gambaran betapa cantik dan keep-able 'printilan' dari brand yang satu ini.
 
Untuk desain jewelry-nya juga sangat simpel, dan elegan. Dari segi harga memang bukan yang termurah dibanding merek lainnya. Kualitasnya sendiri menurutku cukup oke, kalau digunakan dengan proper (dalam artian dirawat, disimpan dengan baik, hindari kontak dengan produk skincare/kosmetik, dan lainnya). Punyaku agak pudar sedikit warna emasnya karena produk One memang bukan emas asli, melainkan gold plated sterling silver. Saranku lebih baik pilih silver jewelry mereka karena akan lebih tahan lama.

That's it! Semoga rekomendasi ini bisa sedikit memberikan informasi yang bermanfaat, ya.
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar

Ada yang suka menulis jurnal juga? Di artikel ini aku punya rekomendasi jurnal dari brand lokal yang tampilannya super estetik! Nama brand-nya itu Sand and Paper. Kalian harus cek akun Instagram mereka, @sandandpaper_. Aku juga sebetulnya baru tau brand ini beberapa waktu yang lalu, dari akun Instagram salah satu influencer, dan habis itu enggak berhenti kepo Instagram story Sand and Paper karena aku suka sekali dengan desain dan tema brand-nya.
 

Selain desainnya, yang paling aku penasaran dengan brand ini adalah karena mereka punya satu jenis jurnal yang menurutku unik banget, yaitu Gratitude Journal. Jurnal ini mengingatkan aku dengan The Five-Minute Journal yang selalu muncul di video YouTuber asal Korea, Ordinary-School, dan jujur aku ingin juga punya jurnal itu hehehe. Namun, sepertinya si The Five-Minute Journal ini belum ada di toko buku Indonesia. Aku lihat dia baru ada di Urban Outfitters dengan harga $24.95. Tapi sepertinya kalaupun masuk toko buku Indonesia, pasti harganya akan naik, sih.

 
That's why, ketika lihat Gratitude Journal dari Sand and Paper ini rasanya seperti wishlist-ku tercapai satu! Aku sudah mengincar sekali buku ini dan alhamdulillah pas sekali jurnal ini sampai di rumahku tanggal 1 Januari 2022 lalu sebagai kado dari teman-teman kantor. Oh iya, punyaku yang warna ivory.
 
Kalian pernah dengar tentang gratitude jar? Katanya supaya kita enggak lupa dengan hal-hal baik yang kita terima, kita bisa tulis hal-hal tersebut di kertas kecil setiap hari dan kertasnya dikumpulkan di dalam toples untuk kita baca di lain waktu. Dulu aku pernah melakukan ini waktu kuliah, tetapi kurang praktis, jadi sering lupa hehe. Nah, menurutku Gratitude Journal ini konsepnya mirip juga tetapi pastinya lebih praktis.

 

Di dalam bukunya sudah ada 190 halaman dengan guide apa yang kita harus tulis setiap harinya, pagi dan malam. Lalu jurnal ini juga fleksibel bisa kita isi tanggalnya sesuai waktu kita tulis. Di bagian belakang juga ada beberapa halaman untuk self reflection. Ukuran bukunya sendiri itu adalah A5.

Kualitas bukunya juga oke, dijilid dengan benang. Cover-nya dari kain dengan embos gold. Kertas di dalamnya menurutku lumayan bagus kualitasnya, tetapi masih agak terawang kalau ditulis dengan gel pen. Sejauh ini untuk printing di dalamnya-nya rapi, paling ada bagian date nya terlalu mepet ke atas, terus aku menemukan satu tulisan typo hehe. Lalu minusnya lagi mungkin  karena aku pilih warna ivory, jadi cover-nya sangat rawan kotor. Mereka ada pilihan lain warna sand, brown, dan black. Namun, aku pilih warna ivory supaya mirip dengan Five-Minute Journal, hehehe.


Gratitude Journal menurutku juga bisa jadi opsi untuk orang-orang yang lebih suka menulis singkat. Jadi, kalau aku pribadi Gratitude Journal dan diary pastinya punya fungsi yang berbeda, walaupun mungkin isinya beririsan. Ketika aku sedang ingin cerita selengkap-lengkapnya, tetap harus tulis di jurnal biasa.

Oh iya, produk-produknya Sand and Paper juga bisa banget dijadikan hadiah ke teman atau saudara, lo, karena packaging-nya super niat dan cantik! Di tokonya juga ada pilihan kartu ucapan. Untuk harganya sendiri, Gratitude Journal itu Rp299.000. Mereka juga punya planner dan notebook lain yang enggak kalah estetik desainnya, mulai dari Rp89.000 sampai Rp310.000.


 
 
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
konter pengambilan makanan seperti jendela
 
Happy new year! Mari mengawali awal tahun ini dengan series Vegie Festive yang kali ini cukup unik karena aku nggak cuma review makanannya aja, tetapi akan review sedikit tentang tempatnya, karena tempat yang satu ini isinya makanan vegan semua.. hehehe. Jadi kalau kalian di Jakarta, dan pengen nyobain makanan-makanan vegetarian yang nggak zonk, bisa mampir ke...
 
Mad Grass Collaborative Space & Cloud Kitchen
Cipete Selatan, Jakarta Selatan, ada di seberang SDN Cipete 1. 

Pas aku mampir kesana, tempatnya sendiri enggak terlalu luas, tetapi outdoor.. Jadi pastikan kamu ke sana pas lagi enggak hujan, ya. Namun, ini juga jadi poin plus selama masa pandemi seperti sekarang. Untuk pemesanan, kita diminta untuk scan QR code, lalu order dan melakukan pembayaran secara digital seperti kalau kita lagi pesan GoFood/Grab Food, tapi yang versi self pick up. Kalau pesanannya udah jadi, kita bisa ambil di counter. Jadi walaupun banyak tenant di tempat ini, tetapi pesan dan ambilnya tetap di satu tempat, makanya disebut sebagai cloud kitchen.
 
tempat makan dengan meja bulat di bawah pohon

pohon natal dari kardus oatly
 
Tenant-tenant-nya pun enggak kelihatan semua.. Di dalam Mad Grass cuma ada Mad Coffee dan counter untuk ambil makanan. Jangan dibayangkan seperti food court, ya. Tips juga, sebelum ke sana, lebih baik cek dulu website Mad Grass untuk tau tenant-tenant apa aja yang buka di hari itu, karena mereka enggak buka setiap hari.

Waktu aku ke sana, tempatnya sendiri masih sepi, mungkin karena pertengahan weekdays, ya? Jadi buat aku sendiri nyaman sekali untuk makan langsung di sana.

Menu yang aku coba ada dua:
 
cincau coconut milk dan mentai katsudon
 
- Kinkitsuya Vegan Mentai Katsudon Rp64.000
Rasanya menurut aku mirip dengan meat katsu biasanya, lembut di dalam dan crispy di bagian luar. Saus mentainya juga enak, creamy dan enggak pedas. Selain itu juga dapat salad dengan dressing olive oil (?). Satu porsi juga cukup mengenyangkan. Oia, info sedikit, aku kutip dari Instagram Mad Grass, katanya di dalam menu ini enggak menggunakan bawang jenis apapun, karena alasan spiritual. Hmm.. unik juga, ya?
 
- Cincau Cuan Cincau with Coconut Milk Rp28.000
Ini enak! Seger dan enggak bikin eneg walaupun pakai santan. Manisnya juga enggak berlebihan. Cincaunya juga teksturnya lembut dan rasanya enggak pahit. Tau kan, ada cincau warna hijau yang rasanya itu agak pahit? Nah, kalau ini enggak sama sekali. Enak sih menurutku, bisa jadi alternatif minuman dingin buat yang enggak suka kopi.

menu nasi madura disajikan dalam kemasan kertas

- Plantelicious Nasi Madura Bumbu Hitam Rp40.000
Kalau ini dagingnya crispy sekali dan cukup berserat. Teksturnya lumayan mirip dengan daging bebek. Kebetulan aku coba dengan nasi santan karena rekomendasi dari teman. Menurutku ini menunya enak sekali dan worth the price, untuk kalian yang vegetarian dan sesekali ingin makan "daging". Favoritku dari menu ini adalah sambal minyak hitam madura-nya! Super enak dan pedas!
 
Harga menu-nya sendiri memang masih di atas Rp30.000, mungkin masih kurang murah untuk konsumsi sehari-hari (I mean, 7 hari seminggu). Namun, termasuk affordable untuk harga makanan vegan, menurutku. Apalagi lokasinya di Jakarta Selatan. Bisa sih untuk sesekali mampir saat weekend, makan siang, atau saat sedang malas masak. Siapa nih para vegetarian yang suka bingung makan di mana pas weekend?
 
Aku masih penasaran pengen cobain kopinya kapan-kapan, karena kata temanku kopinya enak dan enggak berbau, padahal pakai campuran oat & soy milk. Aku sampai sekarang masih belum menemukan kopi plant-based yang rasanya cocok di lidah selain Kopi Soe Soya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
 

When the weather is going cloudy, it's not only sweater weather, but perfect weather to read Harry Potter series, won't it? Hahaha enggak juga sih sebetulnya, tapi kemarin gara-gara nonton video review Agnes Oryza soal buku Harry Potter and the Cursed Child (yang ternyata belum pernah aku baca astaga >.<), akhirnya aku memutuskan untuk baca ulang semua bukunya sebelum tahun baru 2022. Terlalu ambisius enggak sih? Wkwkwk..
 
Apalagi tanggal 1 Januari 2022 di HBO ada perayaan Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts, yay! Jadi harus banget baca bukunya dan nonton semua film-nya sebelum awal tahun. 

View this post on Instagram

A post shared by HBO Asia (@hboasia)


Yah, entah tercapai atau enggak tentang resolusi yang mengada-ada itu, tetapi aku enggak menyesal baca ulang buku Harry Potter. Maka dari itu, di segmen book of the month bulan ini aku ingin merekomendasikan salah satu bukunya, yaitu...
 
𝐇𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐏𝐨𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐚𝐧𝐝 𝐭𝐡𝐞 𝐒𝐨𝐫𝐜𝐞𝐫𝐞𝐫'𝐬 𝐒𝐭𝐨𝐧𝐞
 

Setiap ngobrol tentang Harry Potter tuh seperti mengenang kembali era childhood SD & SMP saat sedang heboh-hebohnya film Harry Potter. Dan karena setiap tahun pasti ada film baru, jadi selalu ada yang ditunggu dan pemain-pemainnya sendiri juga umurnya hanya beda 1-2 tahun lebih tua dari aku, jadi berasa masih satu generasi.
 
Awalnya aku enggak berniat menulis artikel book of the month di bulan Desember, aku berencana merampungkannya sekaligus di artikel best book of 2021. Namun, karena buku ini terlalu bagus, dan harus (wajib) masuk book of the month, akhirnya last minute aku putuskan untuk buat artikel ini.
 
Fun fact, judul awal buku ini adalah Harry Potter and the Philosopher's Stone, tetapi diganti namanya menjadi Sorcerer's Stone karena Philosopher's Stone dianggap kurang menarik dan sedikit kontroversial untuk pasar Amerika. Yes, buku ini memang 100% British karena J.K Rowling sendiri asalnya dari Inggris. 

 
Awalnya aku kurang pede baca buku versi Bahasa Inggris, karena takut banyak istilah magic yang aku enggak ngerti gitu. Memang sih saat baca aku juga merasa kalau banyak istilah baru dan buku ini tuh british banget jadi ada beberapa gaya bahasa khas british yang aku enggak familiar. Kadang kamus Kindle juga kurang menjelaskan jadi akhirnya aku harus pakai bantuan Google Translate.. wkwk tetapi enggak sesulit itu, sih. Mungkin karena aku sudah pernah baca buku versi Bahasa Indonesianya, ya?

Terlepas dari sudah hapal ceritanya, ternyata hal itu enggak mengurangi keseruan saat baca ulang bukunya, loh. J.K Rowling menurutku sangat brilian. Cara menulisnya enak sekali dibaca. Buku ini juga banyak humornya, jadi bukan buku yang serius atau dark banget gitu. Apalagi buku pertama masih fun banget ceritanya enggak banyak adegan berantem. Istilah-istilah "magic"-nya juga dijelaskan secara detil, jadi enggak membingungkan. Malah, di setiap seri, hal-hal dasar dijelaskan ulang just in case ada pembaca yang enggak ngikutin bukunya secara runut atau dari buku pertama. Misalkan kenapa Harry punya tanda petir di keningnya, kenapa Harry harus tinggal sama keluarga Dursley, dll. Mungkin kadang terkesan repetitive, ngapain sih dijelasin ulang terus menerus, tapi kalau aku merasanya ini bermanfaat. Intinya buku ini sangat bagus dan enggak lekang dimakan zaman.

Saat ini aku sedang on going baca buku keempat, tetapi yang paling memorable menurutku tetap buku yang pertama. Aku nangis saat baca bagian akhir buku ini! Haha.. Sama sekali enggak expect akan terharu sampai segitunya, sih, apalagi aku sudah tau ceritanya. Tetapi plot twist di bagian akhir sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing menurutku mengharukan sekali.
 
Not forget to mention the infamous scene saat Ron yang kesal karena dikritik sama Hermione di kelas Professor Flitwick pas belajar flying spell. Hermione dengan gaya bicaranya yang rada bossy ngomong:
"It's wingardium levi-o-sa, not leviosaaa".
 

Mungkin ini rekor pertama kalinya Kindle aku dipakai dengan durasi cukup intens selama berbulan-bulan setiap hari tanpa skip baca Harry Potter. Kemarin saat ke rumah sakit untuk check up kakiku pun aku baca buku ini selama menunggu. Jadi flashback saat aku rutin ke rumah sakit waktu SD dan operasi gigi tahun 2015 pun buku yang aku bawa adalah Harry Potter. This like my comfort (and never failed) book.
 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Perpustakaan di taman? Yes, yes sekarang ada perpustakaan kecil yang tersebar di banyak tempat! Say hello to Bookhive!

Aku senang banget akhirnya minggu lalu bisa mampir ke Bookhive di Taman Suropati. Aku udah sering denger tentang Bookhive ini di social media, salah satunya pas Agnes Oryza posting ini di Instagram.

Bookhive itu apa sih?
Nah, buat yang baru pertama kali denger, Bookhive itu wadah buat para pecinta buku saling share buku. Bookhive sendiri bentuknya seperti "lemari" kecil yang tersebar di beberapa tempat. Lemari ini diisi dengan buku-buku dan semua orang bisa ambil dan pinjam bukunya. Tapi, lemari ini nggak dijaga, tapi ada jam operasionalnya nih, yaitu jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Selain itu lemarinya dikunci.



Bookhive ada di mana aja?
- Taman Suropati Jakarta
- Taman Menteng Jakarta
- Lapangan Banteng Jakarta
- Taman Cattleya Jakarta
- Taman Mataram Jakarta
- Taman Spatodhea Jagakarsa Jakarta
- Taman Situlembang Jakarta
- Jalan Cipunegara Surabaya

Yes, rata-rata masih di Jakarta. Tapi semoga kedepannya bisa makin banyak Bookhive tersebar ya. :) Aku sendiri senang banget karena Bookhive ini rata-rata ada di taman kota.

Kemarin aku sendiri berkunjung ke Bookhive di Taman Suropati. Jujur aja walaupun orang jakarta tapi aku jarang banget main ke taman kota, dan ternyata baca di taman tuh enak banget! Apalagi kalau kamu kayak aku yang sehari-hari jarang lihat pohon-pohon besar, ini seperti relaksasi singkat gitu.


Lokasi Bookhive di Taman Suropati juga gampang banget ditemukan dan kelihatan jelas. Aku kebetulan datang hari Selasa sore sekitar jam 4 sore dan suasananya lumayan sepi. Bookhive-nya sendiri sedang enggak kedatangan pengunjung lain selain aku sendiri, jadi aku cukup puas pilih-pilih bukunya.

Oh iya, buku di Bookhive boleh kamu pinjam untuk dibaca di tempat, atau dibawa pulang. Namun, saran aku sebisa mungkin ikut berpartisipasi sumbang satu buku juga ya. Saat menyumbang buku, kamu juga bisa menandai buku tersebut dengan stempel Bookhive. Kita juga bisa menaruh notes di pintu Bookhive, lo.



 
Untuk genre bukunya sendiri seperti perpustakaan pada umumnya, Jenis bukunya menurutku beragam. Yang aku lihat kemarin di Bookhive Taman Suropati, ada buku cerita misteri, fantasi, teenlit dan romance. Selain itu aku lihat juga ada buku anak-anak. Kemarin aku lihat memang sebagian besar buku cerita, jarang ada non fiksi. Tapi koleksi buku di Bookhive memang progresif tergantung sumbangan dan pinjaman, jadi mungkin saat kalian mampir di lain waktu jenis buku-bukunya sudah berubah.

Kemarin sendiri aku sebetulnya sempat naksir dan ingin pinjam satu buku karya Raditya Dika. Namun, mengingat aku sudah pernah baca bukunya dan kebetulan masih ada beberapa buku di rumah yang belum selesai aku baca, jadi aku skip pinjam supaya bukunya bisa dinikmati oleh yang lain terlebih dahulu, hehe.


Jadi kemarin aku enggak pinjam buku apa-apa dan membaca buku di Kindle sambil menikmati suasana taman kota sejenak. Bagi para pecinta buku menurutku wajib sekali coba baca buku di taman kota sambil mengecek Bookhive yang ada di sana.
 
 
 
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

 
Hihi, senang sekali deh melihat segmen vegie festive bisa lanjut. Setelah kemarin coba plant based pizza dari Dominos, tiba-tiba aku teringat pernah baca artikel kalau Starbucks juga mengeluarkan menu plant based. Akhirnya minggu kemarin aku langsung coba!
 
Aku awalnya cukup senang karena seperti kita tau gerai Starbucks lumayan banyak dan cukup tersebar di seluruh Indonesia. Apalagi di Jakarta, sekarang semakin banyak dan berkembang. Jadi aku pikir menu ini juga akan mudah diakses oleh pembaca.
 
Sayangnya, setelah aku coba-coba cari di beberapa gerai dekat rumah melalui aplikasi Grab Food, ternyata menu plant based belum tersedia di semua gerai. Memang ada pilihannya di menu, tetapi selalu out of stock. Aku baru menemukan menu ini di beberapa gerai besar yang terletak hampir di pusat kota, seperti Starbucks Tebet, atau Starbucks Kuningan City.
 
Akhirnya kemarin aku pilih pesan di Starbucks Kuningan City karena lokasinya paling dekat dengan kantorku. Yah, semoga ke depannya menu ini akan tersedia di lebih banyak gerai, ya.
 

Menu plant based dari Starbucks sendiri sebetulnya cukup beragam, dari yang aku lihat di aplikasi mereka menyediakan:
- Plant-Based Sloppy Joe Rp52.000
- Plant-Based Meat Foccacia Bread Rp42.000
- Plant-Based Wellington Pocket Rp42.000
- BBQ Plant-Based Meatballs Sandwich Rp55.000
- Plant-Based Chocolate Raspberry Cake Rp35.000
 
Kalau prefer rasa asin, bisa mencoba menu 1-4 yang aku tulis di atas, sedangkan kalau suka yang manis, bisa coba menu cake-nya.
 
Nah, yang aku coba kali ini adalah Starbucks Plant-Based Sloppy Joe. Awalnya aku pesan Plant-Based Sloppy Joe dan Plant-Based Wellington Pocket, tetapi ternyata yang tersedia di store hanya Plant-Based Sloppy Joe saja, huhu. Padahal sudah sempat senang dapat dua menu, karena memang produk ini sangat langka. :p
 
Saranku apabila kalian mau coba, lebih baik pesan via aplikasi ojek online saja, ya. Supaya enggak sedih apabila tiba-tiba menunya habis.
 
Oke, langsung aja masuk ke review Starbucks Plant-Based Sloppy Joe-nya. Ukurannya sendiri enggak terlalu besar, tetapi menurutku cukup mengenyangkan. Aku sendiri kemarin makan ini sebagai pengganti menu makan malam, hehe. Namun, kalau kalian ingin menjadikan cemilan padat juga menurutku masih cocok.
 

Tekstur rotinya sendiri mirip dengan roti sandwich pada umumnya. Karena punyaku sudah aku hangatkan di dalam oven, jadi teksturnya crunchy di luar, dan lembut di dalam. Isinya sendiri aku kurang bisa menebak apa saja, tetapi yang paling bisa aku lihat itu ada plant based patty, jamur, dan beberapa saus. Aku sendiri menambahkan saus sambal. Yes, ketika memesan sandwich ini kita akan diberikan condiment berupa saus sambal dan saus tomat.
 
Tekstur "daging" alias plant based patty-nya sendiri menurutku termasuk lembut dan aku enggak menemukan tekstur serat atau kenyal. Jadi, dominan tekstur lembut. Sedangkan tekstur kenyal aku dapatkan dari jamur di dalam sandwich ini.
 


Rasa sausnya sendiri dominan keju seingatku. Sandwich ini aman sekali untuk dimakan anak-anak karena enggak ada rasa pedasnya.
 
Secara garis besar, aku kurang suka dengan Starbucks Plant-Based Sloppy Joe ini. Apa mungkin karena aku makan yang sudah dihangatkan di oven? Aku kurang suka dengan tekstur dagingnya. Aku lebih pilih tekstur daging di Burger King Plant Based Whooper yang pernah aku ulas juga sebelumnya.
 
Selain itu, harganya juga cukup mahal, hehe. Mungkin untuk harga makanan Starbucks ini memang termasuk standar, tetapi menurutku cukup lumayan apalagi jika dalam frekuensi yang sering.
 
Ah, aku penasaran sekali dengan menu lainnya. Mungkin aku harus makan saat itu juga, ya? Supaya enggak perlu dipanaskan ulang. Ngomong-ngomong untuk episode selanjutnya aku berencana coba menu non dairy coffee mereka juga, nih. Aku sambung di artikel lainnya, ya.

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
foto sedang memegang buku educated di kindle

Aku kaget saat kemarin cek blog ini. Terakhir aku menulis segmen Book of the Month di bulan Agustus? Sudah lama sekali, ya! Aku merasa enggak terlalu banyak membaca buku belakangan ini karena terlalu sibuk menonton variety show. Hahaha. Tapi kali ini aku punya rekomendasi buku yang menurutku sangat menarik untuk dibaca.
 
Mungkin kamu juga sudah sering lihat buku ini di social media atau di toko buku. Banyak public figure yang menyukai buku ini, seperti Maudy Ayunda dan Bill Gates. Buku ini pun sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, lho.
 
𝐄𝐝𝐮𝐜𝐚𝐭𝐞𝐝 - 𝐓𝐚𝐫𝐚 𝐖𝐞𝐬𝐭𝐨𝐯𝐞𝐫

Apa yang pertama kali terpintas di benak kamu ketika membaca judulnya? Kalau aku sendiri, jujur saja, awalnya berpikir buku ini akan menceritakan kisah wanita yang memperjuangkan edukasi bagi sesama wanita. Seperti kisah ibu R.A Kartini. Hehe maklum, aku jarang membaca sinopsis sebelum membaca sebuah buku. Namun, ternyata buku ini kurag lebih menceritakan kisah hidup Tara Westover yang berasal dari keluarga yang terbilang cukup konservatif. Keluarganya sangat menutup diri dari perkembangan jaman dan pendidikan formal. Namun, Tara yang sangat cerdas enggak disangka berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah. Walaupun begitu, bisa ditebak bahwa prosesnya pasti enggak mulus. Tara sendiri baru memulai pendidikan formal di umur 17 tahun.

Buku ini mencakup cerita Tara sejak kecil hingga dewasa dan diceritakan dengan cukup detil. Tara sendiri termasuk family woman, seseorang yang berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Sehingga mengecap pendidikan sementara orang tuanya sendiri kurang mendukung, menimbulkan banyak konflik.

Opini aku tentang buku ini adalah ceritanya sangat seru. Aku sering lupa bahwa ini adalah buku yang menceritakan kisah nyata, bukan fiksi.. hahaha. Gaya hidup keluarga Tara yang konservatif membawa banyak kisah unik dan terkadang cara mereka menyelesaikan suatu masalah membuat aku geleng-geleng kepala karena enggak habis pikir. Aku juga seringkali menyeringai ketika membaca karena ada beberapa adegan yang menurutku terlalu ekstrim dan menakutkan. Mungkin aku sebetulnya enggak boleh mencap seperti ini, tetapi menurutku seringkali keluarganya membawa hubungan yang toxic. Seperti kutipan berikut:
 
"It's strange how you give the people you love so much power over you"
 
But, this book definitely a page turner. Gaya menulis Tara menurutku sangat menarik. Tara juga bisa menceritakannya dengan rinci sehingga aku bisa benar-benar membayangkan seperti apa kondisinya. Selain itu walaupun aku membaca buku ini dalam bahasa Inggris, tetapi bahasanya masih cukup mudah untuk dipahami.
 
Kalian harus sekali coba membaca buku ini!

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
 
Hari ini aku ingin cerita tentang kejadian yang aku alami beberapa minggu lalu. Jadi, aku sempat jatuh dari motor. Surprisingly this accident give me so many lessons to learn. Kejadian ini sebetulnya adalah kelalaian aku sendiri dan untungnya enggak mengakibatkan kerusakan apapun, hanya sedikit luka dalam di kaki akibat tertimpa motor dengan posisi kaki yang kurang pas. To be honest, walaupun bukan kecelakaan besar, tetapi di hari kejadian aku menangis sepanjang perjalanan pulang.. hahaha. Bukan karena malu atau merasa sangat kesakitan, tetapi lebih karena khawatir. 
 
"Apakah ada luka dalam yang enggak terlihat?"
 
"Apakah mengakibatkan efek jangka panjang?" 
 
"Apakah perlu pengobatan besar?"

Untungnya aku sudah periksakan ke dokter bedah ortopedi dan diagnosa pertama enggak telalu serius. Memang masih harus dilihat dulu kondisinya beberapa minggu ke depan sebelum diputuskan apakah memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari dan mungkin ini jadi salah satu keputusan terbaik, karena aku bisa istirahat di waktu tersebut sehingga proses recovery juga lebih maksimal. I'm not only rest my body, but also my mind. Alhamdulillah teman-teman kantor juga sangat banyak membantu di kondisi seperti ini. Bagi kamu yang merasa perlu istirahat, saranku jangan segan-segan ambil cuti, ya. :)

Walaupun sepertinya aku enggak merasa terlalu gimana, tetapi mungkin tubuhku merasakan hal yang berbeda. Beberapa waktu belakangan aku selalu mimpi buruk. Pernah mimpi kecelakaan lain yang sangat buruk sampai mengakibatkan kematian.. haha.. yaampun.

Dari situ aku berusaha untuk menerima mungkin memang aku sedikit shock. Tetapi bukan berarti harus stress berlarut-larut. Aku teringat dengan satu cerita di buku A New Earth dari Eckhart Tolle:
 
Ada seorang laki-laki yang membeli mobil dengan uang hasil menang lotere. Semua temannya berkata bahwa laki-laki tersebut sangat beruntung. Namun, laki-laki itu hanya menjawab, "yaa.. mungkin".
 
Enggak lama setelahnya, ternyata laki-laki itu mengalami kecelakaan saat mengendarai mobilnya dan harus mendapat perawatan di rumah sakit. Teman-teman yang menjenguknya bilang bahwa ia sedang enggak beruntung. Namun, laki-laki itu kembali menjawab dengan, "yaa.. mungkin..".
 
Saat masih dirawat di rumah sakit, laki-laki itu mendapat kabar bahwa rumahnya terkena bencana dan rusak parah. Teman-teman yang memberikan kabar tersebut bilang bahwa laki-laki tersebut sangat beruntung karena sedang enggak di rumah. Lagi-lagi, laki-laki itu menjawab, "yaa.. mungkin..".
 
Laki-laki itu tau bahwa sesuatu yang seringkali dianggap buruk, sebetulnya bisa membawa hal baik, begitu pula dengan hal yang dianggap baik, bisa jadi membawa hal buruk.

Selama proses recovery ini aku terus-terusan ingat dengan cerita tersebut. Lalu aku jadi terpikir beberapa hal yang ternyata masih bisa aku syukuri:
- Aku beruntung pada saat kejadian aku sedang menggunakan sneakers. Pasti lain cerita apabila aku menggunakan high platform sandal yang biasa aku gunakan.
- Aku bersyukur karena mengendarai motor dengan bobot paling ringan di pasaran, sehingga beban yang diterima kakiku pada saat kejadian pastinya lebih minim.
- Aku bersyukur pada saat kejadian banyak orang yang menolong, dan untungnya enggak ada orang lain yang terluka di kecelakaan ini.

Ada satu quote lainnya di buku A New Earth yang aku ingat saat ini:
 
"This too shall pass."

Baik itu kejadian menyenangkan, atau kejadian enggak menyenangkan, semuanya pasti akan berlalu. Jadi enggak perlu tertalu senang, apalagi terlalu sedih sampai berlarut-larut.

If you need to rest, please take a rest. Then keep going.

Semangat! ^.^ 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Yay, satu lagi menu vegetarian yang mudah dicari dan harganya masih terjangkau! Sebetulnya menu pizza untuk vegetarian di Domino's Pizza ini sudah ada sejak pertengahan bulan September 2021, tetapi aku baru sempat lihat banner-nya di depan restoran Domino's Pizza dekat rumahku saat perjalanan pulang kantor beberapa hari lalu. Sejak itu aku sangat penasaran untuk coba!

Ngomong-ngomong, kalau bicara soal Domino's Pizza, jadi teringat Kim Seon Ho oppa, enggak sih? Hehehehe.. Walaupun sekarang dia sudah enggak jadi brand ambassador-nya lagi sejak berita akhir Oktober lalu. Walaupun begitu, aku masih ingin pajang foto-fotonya. Iklan Domino's ini salah satu iklan Kim Seon Ho yang jadi favoritku karena gantengnya sangat natural xixixixixi.
 
Intermezo... Photo by Dominos Korea
 

 
Oke, kembali ke topik awal. Jadi menu vegetarian di Domino's Pizza ini namanya adalah Plantt Pro Beef Pizza. Klaimnya adalah 100% plant based & 100% mempunyai rasa seperti daging asli. Hmm.. kalau dagingnya terbuat dari tumbuhan, berarti vegan juga dong? Dari Domino's sendiri bilang kalau walaupun enggak menggunakan daging & telur, tetapi Plantt Pro Beef Pizza ini masih menggunakan keju, sehingga enggak bisa disebut vegan pizza. Selain itu tempat masaknya juga masih gabung dengan pizza non vegetarian lainnya. Mungkin ini bisa jadi note untuk kamu.
 


Domino's Pizza Plantt Pro Beef punya dua pilihan rasa:
- Plantt Pro Jerky Beef Blackpepper
- Plantt Pro Beef Rendang Special

1 porsi Plantt Pro Beef pizza rasa apapun ukuran medium di Grab Food harganya Rp87.501. Pizza ini harganya sama dengan varian rasa pizza non vegetarian lainnya. Psst, banyak promo yang bisa kamu temukan, lho.

Oke langsung masuk ke review-nya menurutku ya.

- Rasa Beef Blackpepper
Ini rasa favoritku. Isinya ada daging yang terbuat dari tumbuhan, paprika merah, bawang bombay, keju mozarella, saus keju cheddar, saus BBQ dan saus blackpepper. Overall yang terasa sekali menurutku adalah rasa keju. Saus BBQ & blackpepper-nya cukup terasa tetapi enggak mendominasi dan rasanya juga enggak pedas. Karena isiannya enggak banyak jenisnya jadi yang dominan rasanya adalah keju. Untuk "daging"nya sendiri menurutku rasanya lumayan mirip seperti daging asli. Tekstur "daging"-nya berserat.


- Rasa Rendang Special
Untuk varian yang satu ini, menurutku rasa rendangnya hanya samar-samar. Seperti rasa Beef Blackpepper, rasa yang dominan di Rendang Special adalah rasa keju. Isinya ada daging yang terbuat dari tumbuhan, paprika hijau, bawang bombay, keju mozarella, saus keju cheddar, dan saus rendang. Yang membedakan memang hanya jenis paprika dan sausnya saja. Untuk "daging"nya juga sama rasanya mirip dengan daging asli dengan tekstur berserat.


Overall, menurutku kedua pizza ini cukup rekomen apabila suka dengan rasa pizza yang dominan keju. Favoritku rasa Beef Blackpepper karena menurutku rasanya lebih harmonis dengan rasa keju. Aku pesan tipe roti classic handtossed dan rotinya menurutku juga sangat enak, crispy dan lembut. Walaupun aku sempat panaskan di atas teflon, rotinya enggak menjadi keras. Aku termasuk jarang pesan pizza dari Domino's, lebih sering PHD atau Pizza Hut, dan menurutku aku lebih suka roti dari Domino's Pizza ini.
 
Sebagai penutup, aku berikan foto Kim Seon Ho bersama pizza dari Domino's lain, ya. Hehehe. Again, photo by Dominos Korea.



Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Older Posts

About me

Halo aku Dilla, tinggalnya di Jakarta

Blog ini isinya cukup gado-gado, seputar gaya hidup. Tetapi saat ini aku fokus pada gaya hidup minimalis, ramah lingkungan dan slow living. Aku berusaha "berkenalan lebih dekat" dengan setiap barang yang aku punya. Tapi aku bukan pakarnya, aku juga pemula.

Semoga apa yang aku tulis bisa memberikan manfaat, ya. Walaupun terkadang ada selipan sponsor di blog ini, namun aku berharap menulis tidak sekedar mengais, tetapi bermakna untuk sesama.

diah.fdilla@gmail.com

Popular Posts

  • Mengadaptasi Budaya Korea: Mencuci Sampah
    Aku sangat kagum dengan sistem pengelolaan sampah di Korea Selatan. Dari beberapa video yang aku tonton di Youtube, setiap rumah tangga puny...
  • Review, Tips & Trik Kindle E-Book Reader (Indonesia), Worth It or Not?
    Akhirnya aku pindah dari buku cetak ke buku digital! Aku sebenarnya mulai tertarik untuk pindah karena melihat e-book reader Crema Soundup ...
  • Pengalaman Belanja di MUJI Online Shop Indonesia
    Siapa dari kalian yang suka juga melihat barang-barang MUJI yang selalu terlihat estetik? Kalau aku sendiri apabila lagi mampir ke Grand Ind...
  • Review Scarlett Whitening Body Lotion Freshy (Wanginya Mirip Jo Malone!)
    Semenjak coba body lotion dari Scarlett Whitening, sekarang tujuan pakai body lotion bukan hanya supaya kulit menjadi lebih lembap, tetapi...
  • Nyobain Resep ala Vlog Korea: Granola Yogurt Bowl
    Salah satu hal yang aku sukai dari silent vlog atau no face vlog Korea adalah mereka sering membagikan resep masakan sederhana yang mudah di...
  • Review Artisan Flower Tea dari Indonesia: Chauan Tea
    Setelah sekian lama kepo akun Chauan Tea di Tokopedia dan Instagram, akhirnya kesampaian untuk coba saat promo 11.11 kemarin. Selama 3 hari...
  • Foto Before After 28 Hari Pakai SK-II FTE, Apa Perubahan yang Aku Rasain?
    Cukup panjang perjalanan untuk membuat artikel ini. Namun, karena faktor penasaran akhirnya aku coba juga. Bagi para penyuka skincare pasti ...
  • Review Burger King Plant Based Whopper, Yay or Nay? - Vegie Festive
    Aku mau membuat segment baru untuk blog ini, yaitu Vegie Festive! Aku berencana untuk review satu menu vegetarian setiap bulannya. Yes, samp...
  • Kesulitan Hanya Ada di Pikiran Kita
    Belakangan aku sering sekali membaca tentang konsep "kesulitan dan apa yang kita takutkan itu sebetulnya hanya ilusi pikiran". Mul...
  • Foto Before After Crest 3D Whitestrips Teeth Whitening Kit
    Wah, aku rindu sekali dengan blog ini setelah "cuti" menulis selama bulan Ramadan kemarin! Semoga masih ada yang tetap mau baca a...

Translate

Cari Blog Ini

Arsip Blog

  • ▼  2022 (5)
    • ▼  Mei 2022 (2)
      • Book of the Month: What I Talk About When I Talk A...
      • Vegie Festive: Review Oatside VS Oatly
    • ►  Januari 2022 (3)
  • ►  2021 (26)
    • ►  Desember 2021 (3)
    • ►  November 2021 (3)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  Agustus 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (4)
    • ►  Mei 2021 (4)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (1)
    • ►  Februari 2021 (2)
    • ►  Januari 2021 (4)
  • ►  2020 (54)
    • ►  Desember 2020 (5)
    • ►  November 2020 (3)
    • ►  Oktober 2020 (5)
    • ►  September 2020 (5)
    • ►  Agustus 2020 (5)
    • ►  Juli 2020 (4)
    • ►  Juni 2020 (7)
    • ►  April 2020 (2)
    • ►  Maret 2020 (7)
    • ►  Februari 2020 (7)
    • ►  Januari 2020 (4)
  • ►  2019 (43)
    • ►  Desember 2019 (7)
    • ►  November 2019 (6)
    • ►  Oktober 2019 (6)
    • ►  September 2019 (7)
    • ►  Agustus 2019 (6)
    • ►  Juli 2019 (6)
    • ►  Juni 2019 (3)
    • ►  April 2019 (2)
  • ►  2018 (54)
    • ►  Desember 2018 (2)
    • ►  November 2018 (3)
    • ►  Oktober 2018 (5)
    • ►  September 2018 (6)
    • ►  Agustus 2018 (5)
    • ►  Juli 2018 (3)
    • ►  Juni 2018 (3)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  April 2018 (3)
    • ►  Maret 2018 (5)
    • ►  Februari 2018 (6)
    • ►  Januari 2018 (10)
  • ►  2017 (80)
    • ►  Desember 2017 (10)
    • ►  November 2017 (10)
    • ►  Oktober 2017 (7)
    • ►  September 2017 (9)
    • ►  Agustus 2017 (5)
    • ►  Juli 2017 (8)
    • ►  Juni 2017 (8)
    • ►  Mei 2017 (3)
    • ►  April 2017 (4)
    • ►  Maret 2017 (6)
    • ►  Februari 2017 (5)
    • ►  Januari 2017 (5)
  • ►  2016 (37)
    • ►  Desember 2016 (7)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (2)
    • ►  September 2016 (4)
    • ►  Agustus 2016 (5)
    • ►  Juli 2016 (6)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (2)
    • ►  April 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (3)
    • ►  Januari 2016 (4)
  • ►  2015 (34)
    • ►  Desember 2015 (2)
    • ►  November 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (2)
    • ►  Juli 2015 (1)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (4)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (6)
    • ►  Februari 2015 (5)
    • ►  Januari 2015 (10)
  • ►  2014 (50)
    • ►  Desember 2014 (6)
    • ►  November 2014 (8)
    • ►  Oktober 2014 (8)
    • ►  September 2014 (7)
    • ►  Agustus 2014 (4)
    • ►  Juli 2014 (2)
    • ►  Juni 2014 (3)
    • ►  Mei 2014 (4)
    • ►  April 2014 (3)
    • ►  Maret 2014 (1)
    • ►  Februari 2014 (2)
    • ►  Januari 2014 (2)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember 2013 (4)
    • ►  November 2013 (13)
    • ►  Oktober 2013 (3)
    • ►  September 2013 (5)
    • ►  Agustus 2013 (6)
    • ►  Juli 2013 (1)
    • ►  Mei 2013 (5)
    • ►  April 2013 (4)
    • ►  Maret 2013 (3)
    • ►  Januari 2013 (6)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember 2012 (7)
    • ►  November 2012 (4)

Readers

Indonesian Hijab Bloggers

Indonesian Hijab Bloggers

Indonesian Female Bloggers

Indonesian Female Bloggers

Indonesian Beauty Blogger

Indonesian Beauty Blogger

BEAUTIESQUAD

Warung Blogger

Warung Blogger

Created with by BeautyTemplates